Di sekolah Inklusi (SD. Muhamadiyah di Gunung Kidul) sekolah ini memiliki siswa 120 anak, 2 anak laki-laki antara lain merupakan Tuna Grahita, 2 anak ini dimasenangn oleh kedua ibunya ke kasta I gara-gara bersedia masuk SLBC lokasinya jauh dari tempat tinggalnya yang di pegunungan. Keluarga ini termasuk keluarga miskin oleh karena itu mereka memasukkan anak-buah hatinya ke SD Muhamadiyah.[7] Perasaan mereka sungguh senang serta senang kalau kebenarannya anak mereka didapat sekolah. Satu anak muncul bertempat diri serta acuh tak acuh, selagi satu lagi muncul gembira serta ria, terlebih beliau menggemari tari serta suka nada, jua beliau ramah serta bermain dengan sekolahnya yang tidak cacat. Gurunya menggemari mereka, membimbing serta memelihara mereka dengan mengunbakal perubahan kurikulum guna matematika serta mata pelajaran yang lain, penilaian dicocokkan dengan kepiawaian mereka. perihal yang sungguh berguna disini yang berpautan dengan guru merupakan anak Tuna Grahita sanggup menyelaraskan diri dengan positif, senang serta ceria di sekolah. Ini adalah potret anak Tuna Grahita di tengah-tengah setingkat yang selagi berlatih.
Di Indonesia digeluti percobaan coba diseparuh wilayah semenjak tahun 2001, dengan cara resmi pembelajaran inklusi dideklarasikan di Bandung tahun 2004 dengan beberapa sekolah reguler yang menyiapkan diri guna pengamalan pembelajaran inklusi. mula tahun 2006 ini tidak terlihat tanda-tanda guna itu, data perihal pembelajaran inklusi tidak timbul terhadap orang banyak, gunjingan ini hilang selagi gunjingan menarik yang lain kayak dana operasional sekolah, sistem SKS SMA serta lain-lain.
utamanya pembelajaran inklusi kemudian masuk dibesarkan gara-gara mempunyai keistimewaan serta khasiat. bagi Staub serta Peck (1994/1995) terlihat 5 khasiat maupun keistimewaan program inklusi ialah:
berasas hasil konsultasi dengan anak non ABK di sekolah menengah, tandasnya rasa resah pada anak berkepentingan eksklusif dampak kerap berhubungan dengan anak berkepentingan eksklusif.
Anak non ABK jadi makin pemaaf pada orang lain sesudah memahami kebutuhan pribadi ABK.
Banyak anak non ABK yang menanggapi kenaikan selfesteem selaku dampak pergaulannya dengan ABK, ialah sanggup meninggikan status mereka di kasta serta di sekolah.
Anak non ABK menjalani kemajuan serta komitmen pada akhlak individu serta prinsip-prinsip etika
Anak non ABK yang tidak menyangkal ABK berkata kalau mereka merasa senang berkawan dengan ABK
Dengan begitu orang lanjut usia siswa yang tidak mempunyai anak dengan kebutuhan khusus tidak mesti kuatir kalau pembelajaran inklusi sanggup mudarat pembelajaran anaknya malah malahan akan berguna.